Thursday, February 20, 2014

Asal-Usul Kenapa Remote TV Sering Hilang



Kehilangan adalah suatu hal yang sangat tidak enak, dan cenderung menyakitkan. Contoh: kehilangan tangan karena kejepit pintu sampe putus.

Kita seringkali tidak menyadari, kalau kehilangan adalah hal yang biasa terjadi hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita pasti mengalami kehilangan, mulai dari kehilangan air seni, kehilangan tinja, kehilangan kentut. Semua dibuang-buang begitu saja.

Tapi, ah, baiklah akan saya ulangi, sebab terasa kurang penekanan dan kesan dramatis dibacanya. TAPI! Apakah kalian menyadari?! Bahwa ada satu hal yang seringkali hilang tanpa ada penyebab yang jelas. Ghaib. Tak pernah ada yang mampu menjelaskannya, seperti fenomena segitiga bermuda dan UFO, atau seperti batu apung yang entah bagaimana ceritanya bisa mengapung begitu saja di atas air, padahal sejatinya kodrat dia adalah batu.

Hal yang sering hilang itu adalah: REMOTE TV. *zoom in zoom out*

Segala sesuatu ada sejarahnya, bung. Dan seperti kata Bung Karno, “Jas Merah,” janganlah sekali-kali melupakan sejarah. Maka ada baiknya kita mengenang sejarah awal mula bagaimana ceritanya remote tv bisa sering hilang tanpa ada penyebab yang jelas.

**

Kisah ini terjadi pada masa yang lampau.

Pada jaman dahulu kala, di mana waktu itu belum ada kalender, hiduplah seorang anak muda bernama Ningsih. Saat itu banyak orang yang bingung kenapa ada pemuda namanya Ningsih, padahal Ningsih adalah nama perempuan. Usut punya usut ternyata nama Ningsih adalah singkatan dari bening dan bersih, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya dengan harapan nanti ketika sudah besar anaknya akan tumbuh menjadi pemuda yang bening dan bersih, serta digandrungi banyak wanita.

Tapi harapan tinggal harapan. Jangankan bersih, Ningsih tumbuh menjadi pemuda yang dekiland the kumel. Badannya penuh panu, kadas, kurap, dan eksim. Selalu sakit-sakitan, gak pernah sakit beneran. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya, Ningsih ingin sekali-kali sakit beneran. Biar kayak orang-orang, ada yang jenguk dan perhatiin.

Karena badannya dekil, Ningsih jadi jarang keluar rumah, sebab dia malu. Wajar saja, Ningsih lahir dari keluarga kaya raya, ayahnya konon yang memiliki sebuah perusahaan legendaris yang seringkali digaung-gaungkan mahasiswa di tengah keresahannya mengerjakan soal statistik: PT. Maju Mundur.

Ningsih dimasukkan ke sekolah kaya, walhasil teman-temannya juga berasal dari lingkungan kaya. Dan yang namanya anak orang kaya, badannya pasti bersih. Sementara Ningsih badannya dekil, maka dari itu dia jadi malu. Orang tua Ningsih sudah mengakalinya dengan cara memakaikan Ningsih pakaian-pakaian bermerk terkenal, bahkan sempat beberapa kali desainer-desainer pakaian kondang khusus dipekerjakan oleh ayahnya untuk membuatkan Ningsih baju yang setidaknya bisa mengurangi kadar kedekilan Ningsih. Senggaknya biar enak dilihat, begitu kata orang tua Ningsih.

Tapi ya tai mah tai aja, mau diapain bentuknya ya tetep aja gak merubah kenyataan bahwa itu adalah tai. Begitu juga dengan dekil, dekil mah dekil aja, mau diapain juga tetep aja dekil. Orang tua Ningsih yang sempat frustasi beberapa kali menawarkan anaknya untuk melakukan operasi plastik. Tetapi Ningsih yang semenjak kecil sudah sering membaca buku-buku motivasi diri dari Deepak Chopra merasa itu adalah sebuah kebohongan hidup yang paling besar, Ningsih akan tetap menjadi dirinya sendiri sampai kapanpun, dia sudah menetapkannya jauh sebelum konsep peradaban sosial diterapkan orang kebanyakan.

Kembali ke Ningsih, karena dia malu, dia kerap mengurung diri dalam kamarnya. Setiap pulang sekolah dia langsung masuk kamar, menguncinya, dan baru keluar lagi keesokan harinya untuk bersiap-siap berangkat sekolah lagi. Begitu seterusnya setiap hari. Bahkan saking gak pernah keluar kamar, sampe banyak yang bilang kalo Ningsih bunting. Mungkin mereka lupa, kalau Ningsih adalah laki-laki.

Suatu hari ketika pulang sekolah, Ningsih menemukan sebuah bungkusan dari tikar pandan yang udah dipotong kecil, bentuknya menyerupai bentuk besek burung dara. Dari kejauhan mata Ningsih sudah menangkap benda itu, dengan segera dan penuh rasa penasaran diambil bungkusan itu. Setelah dibuka, alangkah terkejutnya Ningsih sambil berkata “Eh copot eh copot.” Ternyata isi di dalamnya adalah sebuah remote televisi. Malas memikirkan asal muasal kenapa itu remote bisa sampai ada di dalam bungkusan besek burung dara, dan lebih jauh lagi kenapa bisa sampai tergeletak begitu saja, Ningsih tak mau tahu. Akhirnya dibawa pulang olehnya remote televisi itu.

Hari itu tak seperti biasanya sesampainya di rumah Ningsih tidak langsung masuk kamar, dia memilih duduk manis di depan televisi di ruang tamu. Dia nyalakan televisi dan langsung mencoba menggunakan remote yang baru ditemukannya itu. Sekali pencet, dua kali pencet, tiga kali pencet, masih belum ada perubahan juga di layar televisinya. Karena penasaran, dipencet-pencetlah itu remote berulang-ulang. Akhirnya Ningsih frustasi dan beranggapan kalau itu adalah remote rusak. Maka dia langsung masuk kamar.

Ternyata rasa penasaran yang ada dalam diri Ningsih begitu besar, lebih besar dari kulit kapalan yang ada di pundak para penambang belerang. Di dalam kamarnya, Ningsih masih mengutak-atik remote tv itu, diketok-ketok olehnya, dipukul-pukul, bahkan dibanting-banting, tapi hasilnya sama saja. Tidak ada satu pun barang elektronik yang bisa berfungsi menggunakan remote itu. Hingga akhirnya secara tidak sadar ia mengelus-elus remote itu dengan tujuan membersihkannya. Ternyata sungguh tak disangka-sangka, tiba-tiba remote itu bergetar hebat, membuat Ningsih melepaskan pegangannya, dan remote itu jatuh ke lantai sambil mengeluarkan asap.

Muncullah sesosok jin yang keluar dari dalam remote itu.
“HA HA HA HA, HA HA HA HA, HA HA HA HA, HA HA HA HA..”

Ningsih hanya bengong melihat jin itu, tubuhnya tinggi besar. Tidak seperti jin kebanyakan yang ada di cerita-cerita negeri seribu satu malam, jin itu memakai celana jeans, berjaket kulit, berkacamata hitam, berrambut gondrong. Jin metal.

Jin itu masih tertawa tak henti-henti.
“HA HA HA HA, HA HA HA HA, HA HA HA HA, HA HA HA HA...”

“Jin gila kali nih...”, kata Ningsih dalam hati.

Tiba-tiba jin itu berkata dengan suara serak.
“Hai bocah dekil, terima kaseeeeh udah ngeluarin gua dari dalam remote terkutuk ini. Sebagai balasannya, gua akan mengabulkan satu permintaan lo. Apa aja.”

“Aku tak membutuhkan apa-apa, wahai jin rengat. Yang aku minta dari kau hanyalah satu permintaan, aku ingin kau menjadi temanku,” sahut Ningsih dengan nada bijak. Bijak, bijinya banyak.

Jin metal pun terenyuh dan terhenyak sambil ngomong, “Uuuh gemeeets..” Lalu meneteskan air matanya, kejadian ini sekaligus tercatat di dalam MURJI, Museum Rekor Jin, karena baru kali ini dalam sejarah ada jin yang bisa menangis. Ini semua tak lain karena kerendahan hati Ningsih yang menolak pemberian tak terhingga dari kaum jin yang biasanya langsung disambut dengan keserakahan manusia. Kalau tak minta harta, mintanya tahta, atau wanita. Tapi Ningsih beda, bebek dan kuda.

Mereka pun berdua berteman, kini Ningsih tidak pernah merasa kesepian karena selalu ada sang jin metal yang menemani. Dan jin metal pun senang hidup bersama dengan Ningsih, karena Ningsih memperlakukan dia seperti manusia pada umumnya, tidak diperlakukan semena-mena seperti jin yang terpaksa harus menghamba pada manusia.

Jin metal pun menceritakan kisah dan pengalamannya ini kepada teman-temannya sebangsa jin, dan secepat kedipan Cleopatra kepada Julius Caesar, kabar ini pun tersebar luas di kalangan jin-jin muda. Mereka semua iri dengan kisah yang dialami oleh jin metal. Akhirnya karena terinspirasi kisah tersebut, para jin muda pun memilih untuk mengabdikan diri mereka di dalam remote. Proses pengabdian diri masuk ke dalam benda memang menjadi tradisi yang tidak bisa lepas dari budaya kaum jin, ini semua biasanya terjadi selepas menyelesaikan pendidikan di Madrasah Al-Jinniyah, sebuah sekolah yang kalau dalam dunia manusia itu setara dengan pendidikan SMA. Begitulah mengapa jin Aladdin bisa sampai masuk ke dalam sebuah lampu.

Maka sejak saat itu, hampir semua jin menghuni remote TV. Mereka semua mengharap ditemukan oleh manusia yang setidaknya seperti Ningsih. Tapi apa mau dikata, lain lubuk lain ilalang, lain sempak lain selangkangan. Alih-alih ditemukan orang yang seperti Ningsih, banyak jin yang kecele karena ternyata manusia banyak yang bajingan dan brengsek, tidak seperti Ningsih.

Jin-jin yang tidak dan beruntung itu kemudian mencari siasat. Daripada harus mengabdi kepada manusia-manusia serakah, mereka memilih melawan kodrat mereka sebagai jin, yaitu dengan cara kabur. Tapi karena tubuh mereka masih terperangkap di dalam remote TV, mereka tidak bisa sepenuhnya mengeluarkan kesaktian mereka. Mereka hanya bisa mengeluarkan 10% skillmereka. Jadi mereka hanya bisa kabur dengan cara menghilang sejenak, sebelum akhirnya ditemukan lagi oleh sang majikan.

Itulah mengapa sampai sekarang banyak remote TV suka hilang secara misterius. Itu semua tak lain karena di dalamnya ada jin yang menghuni, dan dia muak dengan perlakuan para empunya yang seenaknya saja memperlakukan remote TV, digetok, diinjek, dimainin tutup batrenya sampe rusak, bahkan ada yang sampe dipake buat garuk punggung atau sikil.

Sekian, tamat. Dilarang protes.
Namaste.

Unknown

"Dreaming is the first step that you have to make. While, the act is the next step that you have to do."

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright @ 2013-2014 All Rights Reserved WiranataStep.